Perkara Alas Kaki

Rasi
3 min readSep 5, 2022

--

model sepatu Haris yang ditegur oleh guru di kelasnya

Tak sulit untuk temukan toko dengan berbagai macam merek dan jajaran warna sepatu atau sandal. Di simpangan, jalan besar, jalan kecil, bahkan jalan buntu sekali pun bisa kalian temui. Lalu apa permasalahannya? Benar, uang ialah jalan buntu dari setiap keinginan manusia. Ini bukan ceritaku, melainkan miliknya yang perlu kalian tahu.

Namanya Haris. Sekolah dasar tempatnya bersekolah ada di depan gang rumahnya, masih harus menyebrangi satu jalan besar. Seharinya ia berjalan kaki, kadang juga ia kayuh sepedanya. Itu pun jika sepedanya tidak tiba-tiba bocor. Dua pasang baju seragamnya pemberian saudara. Satu yang masih baru sangat jarang ia pakai, katanya masih harus dipakai sampai kelas enam.

Satu sore ia datang mengetuk pintu rumahku. Tak mau masuk, ia hanya duduk di depan pelataran. Sembari ia meminum es merah di plastik, ia berkata, “Mbak, punya sepatu?” Tentu aku jawab iya karena memang aku punya setidaknya dua pasang.

“Mbak sepatunya waktu sekolah pakai seragam masih ada?”

“Masih, kadang masih tak buat jogging kalau pagi.”

“Kalau aku pinjam boleh?” Aku tertegun sejenak mendengar pertanyaannya. Bukan maksud menjadi medit, tetapi aku butuh alasan lain untuk benar-benar menyerahkannya.

“Boleh. Sepatumu ke mana? Basah? Apa kenapa?”

“Sepatuku di depannya ada bagian putihnya, Mbak. Kemarin disuruh Bu Guru copot, tapi akhirnya suruh pakai lagi.”

Sejujurnya, apa korelasi atau bahkan dampak dari penggunaan sepatu dengan motif putih pada prestasi siswa di sekolah? Terkecuali, sepatu yang bersangkutan telah timbulkan racun berupa gas yang membuat seisi kelas gelengkan kepala.

Aku kembali masuk ke dalam rumah tanpa cuap-cuap. Meraih satu pasang sepatu berukuran tiga-tujuh dengan warna pleret putih pada bagian bawah. Kubawa ia ke luar untuk temui tuan barunya segera.

“Ini juga masih ada putihnya, tapi di bawah. Nggak papa?” tanyaku memastikan. Setelahnya kuminta ia untuk mencoba sepatu tersebut, kakinya masuk dengan penuh tekan. Sebenarnya aku pun tak tega jika ia harus berjalan dengan sepatu yang sedikit menyesakkan kakinya.

Namun, ia tampak taruh hati pada sepatu itu. Matanya sorotkan binar jatuh cinta. Senyumnya tersungging hingga nampak gigi rapinya. Ia ucapkan terima kasih dan kembali pulang ke rumah.

Satu hari setelah pertemuan sepatuku dengan tuan barunya, sang tuan kembali mendatangiku. Menanyakan lagi apakah aku punya sepatu yang baru. Heran mengguyur diriku sendiri. Marah pun hampir terluap. Kuhujani ia beberapa pertanyaan lagi dan lagi.

“Mbak … sepatunya dipakai mbakku ….”

“Mbakmu nggak punya sepatu, Ris? Mana mbakmu? Suruh bilang ke aku.”

“Nggak, Mbak, jangan. Dia bilang sepatunya bagus, jadi dia mau pakai buat upacara,” jelasnya tertatih karena nada bicaraku yang terlalu menantangnya.

“Ya terus? Kamu mau pakai sepatu apa? Kamu besok juga upacara, Ris!” bentakku bukan perkara Haris tak bisa merebut, tetapi satu lain hal.

Anak itu diam. Duduk pasrah di lantai dengan tatapan kosong ke depan. Iba benar diriku padanya. Namun, tak ada lagi yang bisa kulakukan. Uang senilai sepatu yang pantas pun aku tak punya. Sepatu bekas yang lain apalagi. Kuputuskan untuk datangi rumahnya sore itu. Komunikasikan segala kemauan dan kebutuhannya pada seorang ibu yang tengah meracik bumbu masakan untuk jualannya esok hari. Jawabannya tak sulit untuk dipikirkan, ibunya pun tak ada cukup uang untuk membeli sepatu yang anaknya minta.

Tuhan, sadarkan mereka yang rakus merampas milik orang lain. Bolehkah kuminta tolong cukupkan kebutuhan Haris selagi aku tak ada di sampingnya? Selagi aku di sini, tolong berikan uluran-Mu untuknya. Ia sungguh bukan anak nakal yang suka kantongi uang kembalian belanja ibunya. Tuhan, cukupkan dan berikan keadilan bagi Haris, ya?

--

--

Rasi
Rasi

Written by Rasi

karena pelajaran dapat datang dari segala sudut muka bumi, diri ini menulis untuk mencatat pelajaran tersebut, sewaktu-waktu saya mati.

No responses yet